Senin, 05 Januari 2009

Ty HANYA INGIN BERSYUKUR...

Ty hanya ingin bersyukur, bersyukur, dan bersyukur...

Ty ingin bersyukur untuk setiap hal yang Ty punya...

Ty punya keluarga yang hebat...

Ty punya mama yang lembut, tegar, sabar, pemaaf...

Ty punya papa yang hebat, penyayang, bertanggung jawab...

Ty punya adik yang selalu memberi keceriaan setiap Ty interaksi ma dia...

Ty punya mas yang selalu ngertiin dan sabar ma Ty...

Ty punya sahabat untuk membagi tawa dan mengeluhkan duka…

Yang Ty punya bisa dibilang LENGKAP...

Tapi, dalam segala kelengkapan yang Ty miliki, ternyata Ty belum pandai bersyukur...

Maafkan Ty ya Allah... Puji-syukur hanya tercurah untuk-Mu...

Dzat Maha Indah yang kumiliki...


Perselingkuhan Orangtua dan Pembentukan Konsep Diri Anak

Pernikahan adalah suatu pranata sosial yang sangat sakral dan suci. Siapapun yang telah memutuskan untuk membuka dan memasuki gerbangnya harus menjalaninya dengan penuh komitmen dan tanggung jawab. Masing-masing dari pasangan haruslah menjaga kesucian mahligai yang mereka sepakati berdua. Namun, ternyata masih banyak saja pasangan yang melanggar ikatan suci yang mereka ikrarkan. Salah satu bentuk pelanggaran komitmen yang acapkali dilakukan adalah perselingkuhan oleh salah satu pasangan.

Perselingkuhan bukan lagi hal yang langka di masyarakat kita saat ini. Pemberitaan di berbagai media mengenai pasangan suami-istri yang berselingkuh bahkan menjadi berita yang sangat digemari oleh penikmat infotainment. Karena gencarnya pemberitaan yang dilancarkan oleh media, perselingkuhan seolah menjadi trend tersendiri. Ternyata, tak sebatas di layar kaca, perselingkuhan juga merambah pada mereka yang tak disorot kamera.


Asya (dalam Purwanto, 2004) mendefinisikan perselingkuhan (selingkuh) sebagai perbuatan seorang suami atau istri dalam bentuk menjalin hubungan dengan seseorang di luar ikatan perkawinan dan jika hubungan tersebut diketahui oleh pasangan sah akan dinyatakan sebagai perbuatan menyakiti, mengkhianati, melanggar kesepakatan, dan komitmen. Dengan kata lain, dalam selingkuh terkandung makna ketidakjujuran, ketidakpercayaan, ketidak-saling menghargai, dan kepengecutan dengan maksud menikmati hubungan dengan orang lain sehingga terpenuhi kebutuhan afeksi–seksualitas (meskipun tidak harus terjadi hubungan badan).

Data statistik yang terdapat di Amerika Serikat mencatat bahwa sekitar 37% suami dan 20% istri melakukan perselingkuhan. Berdasarkan data tersebut, dapat diperkirakan bahwa satu dari 2,7 pasangan atau sedikitnya 20 juta pasangan dihinggapi oleh persoalan ketidaksetiaan (Spring dan Spring, 2006, h. 1).

Data dari Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama (PPA) Mahkamah Agung menggambarkan perceraian akibat adanya gugatan dari istri dari tahun ke tahun selalu lebih tinggi dari angka perceraian akibat talak suami. Data dalam lima tahun terakhir menunjukkan persentase perceraian akibat gugatan istri mencapai 56,2% pada tahun 2000 naik menjadi 57,4% pada tahun 2001, naik lagi menjadi 59,5% pada tahun 2002, dan terus naik menjadi 60,7% pada tahun 2003 dan 62,1% pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 naik lagi menjadi 63%. Ketika ditanya apa penyebab perceraian, selingkuh adalah salah satu penyebab yang sering disebut-sebut. Faktanya, selingkuh memang kini telah meluas dan menjadi ancaman bagi institusi keluarga. Seberapa besar ancaman selingkuh terhadap keluarga-keluarga di Indonesia? Pergerakan data statistik di Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama menguaknya, ternyata selingkuh telah menjadi virus keluarga nomor empat (Nuryati, 2007).

Tahun 2005, ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh. Persentasenya mencapai 9,16 persen dari 150.395 kasus perceraian tahun 2005, ini berarti dari 10 keluarga yang bercerai, satu di antaranya karena selingkuh. Disebutkan pula, perceraian karena selingkuh itu jauh melampaui perceraian akibat poligami tidak sehat yang hanya 879 kasus atau 0,58 persen dari total kasus perceraian tahun 2005. Perceraian karena selingkuh juga sepuluh kali lipat dibanding perceraian karena penganiayaan yang hanya 916 kasus atau 0,6 persen. Sementara banyak pihak memprediksi perselingkuhan ini akan terus naik akibat banyak orang (termasuk tokoh-tokoh) yang melakukannya. Fakta ini mestinya menyadarkan kita bahwa angka 13.779 kasus perceraian akibat selingkuh dalam satu tahun bukanlah angka yang kecil (Nuryati, 2007).

Namun demikian, perselingkuhan memang tidak selalu berakhir di pengadilan agama, banyak diantaranya yang akhirnya kembali kepada pasangan mereka yang sah, dengan atau tanpa perbuatan mereka diketahui. Berikut data dari Asya (dalam Purwanto, 2004) yang didapat dari 101 responden yang berasal dari kalangan eksekutif pria di Jakarta mengenai penyelesaian masalah perselingkuhan setelah diketahui oleh pasangan sah mereka.

Tabel 1

Penyelesaian Masalah Perselingkuhan Setelah Diketahui oleh Pasangan Sah

(pada Eksekutif Pria di Jakarta)

No

Cara penyelesaian

%

1

Cerai ke pengadilan

5

2

Cerai tanpa surat

12

3

Pisah ranjang satu rumah

18

4

Memaafkan dan akur lagi

36

5

Membiarkan pasangan selingkuh

8

6

Menerima dan saling selingkuh

9

7

Kawin madu karena terpaksa

3

8

Masuk penjara

8













Dengan atau tanpa adanya perceraian, perselingkuhan yang pada akhirnya diketahui oleh pasangan sah adalah hal yang sangat menyakitkan dan mau tidak mau akan memicu konflik serta hubungan yang merenggang di dalam keluarga. Orangtua yang terlibat konflik terkadang luput memikirkan kondisi buah hatinya yang masih sangat memerlukan perhatian mereka.

Apapun alasan dari orangtua yang berselingkuh, baik ayah ataupun ibu yang melakukan perselingkuhan, yang terkena imbasnya tidak lain dan tidak bukan adalah anak-anak mereka. Fungsi keluarga sebagai pusat ketenangan jiwa bagi anak akan luntur. Harapan seorang anak yang begitu rindu untuk pulang ke rumah, karena di sana akan ia dapati ibu dan ayah yang bagaikan air pelepas dahaga, sirna lantaran ayah dan ibu tak lagi berada dalam kebersamaan. Keluarga yang diharapkan sebagai sumber energi dan sumber semangat pun hancur. Tak ada lagi untaian nasihat mengalir tenang, tak ada lagi aktivitas saling memperbaiki, serta saling menggali kebenaran.

Berawal dari masalah keluarga yang terjadi antara suami-isteri, akhirnya sering menimbulkan keributan dan pertengkaran (Eriany, 2004, h. 67). Konflik yang terjadi pada kedua orangtua pasti akan berimbas pada anak-anak mereka. Hidup di lingkungan keluarga yang sering bertengkar, akan menyulitkan bagi remaja untuk mengembangkan kepribadian yang sehat. Hal ini membuka peluang bagi perkembangan rasa kurang percaya diri yang intens, yang membuat mereka sering mengalami kegagalan dalam meraih prestasi sosial yang optimal (Sadarjoen, 2005, h. 93).

Mereka juga mengalami kesulitan dalam bergaul, sering diliputi kecurigaan yang berlebih terhadap lingkungan, mudah memaki dan mencaci lingkungan, dan kalaupun mendapatkan sahabat yang dirasa cocok, maka sikap terhadap sahabat tersebut menjadi sangat posesif. Sikap posesif tersebut akan menjadi bumerang bagi lepasnya persahabatan yang terjalin, karena sahabatnya pun menjadi kurang nyaman dan akhirnya meninggalkan dirinya serta meninggalkan kekecewaan yang besar bagi remaja tersebut (Sadarjoen, 2005, h. 93).

Hubungan keluarga yang buruk merupakan bahaya psikologis pada setiap usia, terlebih selama masa remaja karena pada saat ini anak laki-laki dan perempuan sangat tidak percaya pada diri sendiri dan bergantung pada keluarga untuk mendapatkan rasa aman. Yang lebih penting lagi, mereka memerlukan bimbingan dan bantuan dalam menghadapi tugas perkembangan masa remaja. Jika hubungan keluarga ditandai dengan pertentangan-pertentangan serta perasaan-perasaan tidak aman yang berlangsung lama, maka remaja akan memiliki kesempatan yang kurang untuk mengembangkan pola perilaku yang tenang dan matang. Remaja yang hubungan keluarganya kurang baik juga dapat mengembangkan hubungan yang buruk dengan orang-orang di luar rumah (Hurlock, 2002, h. 238). Remaja yang tinggal di lingkungan keluarga yang penuh dengan konflik juga lebih rentan terkena simtom depresi daripada anak yang dibesarkan pada keluarga yang penuh dengan kehangatan (Sheeber. et. al, 1997, h. 340).

Selain dampak yang telah diuraikan di atas, perselingkuhan yang dilakukan oleh orang tua akan berimbas pada pembentukan konsep diri remaja. Rogers (dalam Burns, 1993, h. 46) mengatakan bahwa konsep diri adalah konfigurasi tentang diri sendiri yang terorganisasi, yang tersusun dari karakteristik dan kemampuannya serta konsep mengenai diri di dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungannya. Konsep diri adalah suatu bentuk persepsi yang dimiliki seseorang dalam memandang dirinya sendiri. Persepsi terhadap diri ini dipengaruhi dari pengalaman dan hasil interaksinya dengan orang lain.

Pengalaman dan lingkungan sekitar individu mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan konsep diri. Konsep diri bukanlah faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain (Yatim dan Irwanto, 1986, h. 27). Konsep diri tidak langsung ada begitu individu dilahirkan, tetapi berkembang secara bertahap seiring dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu. Dengan kata lain, konsep diri seseorang dipengaruhi oleh lingkungan. Selain itu, konsep diri juga akan dipelajari individu melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain termasuk berbagai stresor yang dilalui individu tersebut (Salbiah, 2003).

Hurlock (1992, h. 248) mengemukakan bahwa sikap terhadap anggota keluarga dan masalah pribadi keluarga adalah beberapa unsur yang memberikan kontribusi bagi pembentukan konsep diri individu. Burns (1993, h. 204) menyatakan bahwa orangtua mempunyai pengaruh yang besar dalam pengembangan konsepsi diri karena mereka merupakan sumber otoritas dan sumber kepercayaan.

Perilaku orangtua tidak hanya memberikan dampak bagi dirinya dan pasangannya saja, tetapi juga bagi buah hati mereka. Orangtua yang bijak adalah orangtua yang sadar untuk menjaga perilakunya.


Daftar Pustaka:

Burns, R. B. 1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Alih Bahasa: Eddy. Jakarta: Arcan.


Eriany, Prahareti. 2004. Fenomena Perilaku Selingkuh dalam Perkawinan Psikodimensia. 4 (2): 63 dan 67.


Hurlock, E. B. 1992. Perkembangan Anak Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga.


. 2002. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.


Nuryati, Siti. (Januari, 2007). Selingkuh Tahta, Harta, Wanita. FTP: Hostname: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0701/23/opi01.html diunduh pada 28 Maret 2008.


Purwanto, Yadi. (Oktober, 2004). Selingkuh: Abnormal yang dinikmati. FTP: Hostname: http://psikologi.ums.ac.id/modules.php?name=News&file=print&sid=30 diunduh pada 28 Maret 2008.

Salbiah. (2003). Konsep Diri. FTP: Hostname: http://209.85.173.104/search?q=cache:ezTjrPKCtRsJ:library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-salbiah2.pdf+konsep+diri&hl=en&ct=clnk&cd=7&gl=id diunduh pada 11 Maret 2008.


Sadarjoen, Sawitri. S. 2005. Pendampingku Tak Seperti Dulu Lagi. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.


. 2005. Pernak-pernik Hubungan Orangtua-Remaja: Anak ”Bertingkah” Orangtua Mengekang. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.


Sheeber. et. al. 1997. Family Support and Conflict: Prospective Relations to Adolescent Depression Journal of Abnormal Child Psychology. 25 (4): 340.


Spring dan Spring. 2006. After the Affair: menyembuhkan Sakit Hati dan Membangun kembali kepercayaan Setelah Pasangan Berselingkuh. Jakarta: TransMedia.


Yatim dan Irwanto. 1986. Kepribadian, Keluarga, dan Narkotika: Tinjauan Sosial-Psikologis. Jakarta : Penerbit Arcan.



Ngerubah Program Pikiran Kita, yukzz…

Ty lagi bad mood nih, kesel!! Masa’ pagi-pagi dah dibuat ‘empet sama supir angkot!! Bayangin aja deh, Ty kan kuliah jam 07.30, n Ty berangkat jam 07.20. Dari kos ke kampus dah lebih dari cukup dengan 10 menit, tapi… hari ini… whuaa…!!! Supir angkotnya tuh rese banget!! Di setiap gang yang dilewatin pasti nge-tem. Alhasil, Ty harus lari-lari pas nyampe kampus!! Hikzzz… baju n jilbab yang dah Ty pake dengan rapi jadi “awut-awutan”. N akhirnya, lengkap deh ke-BeTe-an Ty… pas nyampe kelas, dosen Psikometri dah bernyanyi (ups!! Berkoar-koar maksudnya… eh, ngajar ding!).

Nah, gara-gara dari pagi dah bad mood, aktivitas-aktivitas Ty yang laen jadi rada keganggu… whuaa… rese banget kan!? Eitzz, tapi… pas Ty lagi nyantai di depan kelas sendirian, tiba-tiba dateng seorang pangeran (Ups!! Temen maksudnya…), ngasih Ty majalah yang di dalemnya ada artikel tentang “Kekuatan Pikiran”, ternyata bagus banget lhow isi artikelnya! Kurang lebih gni cerita artikel itu (cieh…), setiap respon yang kita berikan pada stimulus yang datang adalah hasil dari “program” yang secara tidak sadar kita terima dari lingkungan kita. Wah, Ty jadi mikir nih… berarti respon Ty tadi pagi itu berasal dari “program” lama yang tersimpan (secara tidak sadar) dalam kognitif Ty. Abis mikir, Ty lanjutin lagi baca artikelnya, kita bisa koq ngerubah “program” lama itu. Caranya?? Dengan memasukkan “program” baru secara sadar ke dalam kognitif kita, “program” barunya yaitu dengan selalu positive thinking pada setiap stimulus yang dateng, so… respon kita juga bakalan jadi positif! Misalnya gini, ke-BeTe-an Ty tadi pagi itu disebabpin karena “program” lama yang ada dipikiran Ty bilang kalo supir yang nge-tem itu nyebelin, atau terlambat itu bener-bener petaka besar. Hmm, sekarang kita coba memasukkan “program” baru dalam pikiran kita! Inget, kuncinya positive thinking. Kalo pake “program” baru Ty akan mikir kaya gni, “hmm,supir angkotnya sabar banget deh… Ty jadi bisa nikmati perjalanan Ty, telat dikit gapapa deh, dari pada dapet angkot yang supirnya ‘ugal-ugalan’, jangan-jangan nyampe kampus tinggal nama doang lagi, hihihi..”. Trus pas Ty harus lari-lari Ty mikirnya gini, “Ty kan sekarang nambah ndut, hihihi… jadi perlu olah raga, lumayan…”. Nah pas telat masuk kelas Ty mikir bgini, “yee! Gara-gara telat masuk kelas Ty jadi dikenal ma dosen, buktinya, dosennya bilang gni, ‘mba yang pake baju ungu, yang tadi telat itu loh, mau kasih pendapat dalam diskusi kita kali ini?’ hihihi…”. Tuh kan.. Ty jadi dikenal!!

Hmm, kayanya hidup jadi lebih hidup ya.., jadi lebih indah juga pastinya. So, Ty bertekad (cie..) untuk membuat “program” baru yang lebih baik dari pada yang lama. Memang ga semudah membalikkan telapak tangan sih, tapi… kita ga akan tau klo belum nyoba loh… Gimana? Temen-temen juga maw coba?? Otreh… semoga hidup kita jadi lebih hidup;)

Sebuah Cerpen...

Cerpen Kesukaanku Nih...

Dibuat oleh orang kesukaanku...


WHEN THEY BECOMING A FAMILY


Tiara baru pulang dari kampus tempat ia mengajar siang itu. Wajah cantik berjilbab itu pun tampak lelah setelah seharian harus menghadiri rapat dengan dewan dosen di Universitas terkenal di kawasan Surabaya Tengah tempat ia mengajar. Diparkirnya Honda Jazz pink-nya di garasi rumah,

‘Kok? Sudah pulang siang-siang gini?’

Sebuah pertanyaan muncul di benak Tiara begitu melihat BMW M50 milik suaminya sudah nangkring rapi di sebelah Jazz-nya. Ia pun bergegas masuk ke dalam rumah. Pelan-pelan ia membuka pintu rumah sambil berujar pelan,

“Assalamualaikum......”

“Waalaikumsalam, sudah pulang?”

Tiara tersenyum mendengar pertanyaan Valent, suaminya yang menyambutnya di ruang tamu. Masih dengan setelan kerja lengkap. Ia mencium tangan suaminya, lalu duduk di sebelahnya sebelum kemudian berujar,

“Harusnya kan aku yang tanya gitu mas? Kok jam segini udah ada di rumah?”

“Memang kenapa? Boleh kan sekali-kali aku pulang awal cuma buat berkumpul sama keluargaku?”

Terus kerjaannya gimana? Masak general manager perusahaan multinasional seenaknya aja ninggalin pekerjaannya di kantor?”

Lesung pipit manis milik Tiara terlihat ketika ia melempar senyum yang agak menggoda pada suami tersayangnya. Sejak mengenal Valent saat mereka masih sama-sama kuliah, Tiara tahu benar kalau Valent sangat berdedikasi tinggi pada pekerjaannya.

“Kan masih bisa dikerjain di rumah, sayang.....”

“Ih! Ngeles aja pinter.”

Tiara menyandarkan kepalanya di pundak Valent untuk melepas segala penat dan letih. Lelaki sudah cukup lama dikenalnya itu, kini telah menjadi suaminya. Bahkan kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan hadirnya anak pertama mereka yang kini duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Ratya, itu nama yang mereka berikan buat anak laki-laki yang diamanahkan Allah pada mereka.

“Assalamualaikum.....mama...Ratya pulang...”

Terdengar suara centil anak kecil di balik pintu. Ratya, anak mereka baru saja pulang dari sekolah. Sambil tersenyum Tiara bangkit dan membukakan pintu buat buah hati yang disayanginya. Namun senyumnya langsung memudar begitu melihat baju Ratya begitu penuh dengan lumpur.

“Ratya! Ngapain aja sih kamu di sekolah? Mama kan udah bilang buat jaga seragam kamu? Kok jadi kotor kaya gini sih?” Bentaknya tiba-tiba.

“Ratya cuma main bola ama temen-temen. Tadi ‘kan memang waktunya olah raga ma.....” ujarnya pelan, agak takut juga melihat kemarahan mamanya yang tiba-tiba. Ia kemudian beringsut menuju papanya dan duduk di sebelahnya seolah meminta perlindungan.

“Tapi kan kamu bawa pakaian olah raga nak? Terus mana pakaian olah raga kamu? Kotor juga?”

Sambil takut-takut Ratya menunjukkan kaos olah raga miliknya yang ternyata juga mengalami ‘nasib’ yang tak jauh berbeda dengan seragam sekolahnya. Tiara menghela nafas panjang, lalu menatap tajam ke arah puteranya, yang membuat bocah kecil itu semakin ketakutan.

“Udah deh.... ma, biar papa yang nanti bicara ma Ratya. Mama istirahat aja, mama pasti capek dari kampus seharian.” Valent mencoba menengahi dan meredakan amarah istrinya, sebelum ia menumpahkannya pada Ratya kemudian.

“Tapi pa, nggak bisa kaya gitu kan seharusnya”

“Mama.....”

Kali ini sorot tajam mata Valent seolah menembus dada Tiara, ia tersentak dan kemudian menunduk sambil menggumam istighfar beberapa kali. Kalau saja ia tak sadar peringatan suaminya itu, mungkin ia sudah benar-benar dikuasai amarah.

“Iya, mama ngerti.”

Tiara berujar lirih dan kemudian menghampiri Ratya yang duduk di pangkuan suaminya. Ia merendahkan tubuhnya sehingga bisa mencium pipi tembem anaknya sambil kembali berujar lirih meminta maaf.

“Ratya juga minta maaf ma....”

Sambil terisak karena satu dua air matanya keluar, bocah kecil itu membalas apa yang dilakukan mamanya. Lalu sebelum Tiara beranjak menuju kamarnya untuk sholat Dhuhur dan menenangkan diri sesaat, Valent menghampirinya dan mengecup lembut kening istrinya dan tersenyum penuh arti. Tiara membalas senyuman itu sesaat dan berlalu meninggalkan keduanya.

‘Huff! Ternyata instingku masih bisa diandalkan. Untung aku pulang siang ini. Kalau nggak, bisa pecah Perang Dunia III nih.’

Valent menghela nafas sejenak, lalu menoleh ke arah Ratya. Ia bisa memahami kenapa istrinya langsung marah melihat ‘hasil karya’ puteranya itu. Selain karena memang Tiara sedang capek-capeknya, baju seragam Ratya memang terlihat berantakan abis. Ia pun segera mengajak anak cowoknya ke belakang.

“Udah ah, berhenti nangisnya. Jangan lama-lama. Papa mau ngomong ma Ratya di belakang. Yuk....”

“Tapi Ratya nggak dimarahin lagi ‘kan pa? Nggak di jewer kan?”

“Nggak......papa janji deh.”

Dalam hati Valent tertawa mendengar ucapan polos jagoan kecilnya itu. Yang dia pikirkan kok bisa-bisanya Ratya bicara seperti itu, sejauh yang dia tahu baik dirinya dan Tiara sudah sepakat untuk mendidik anaknya tanpa marah yang berlebihan apalagi hukuman fisik. Pokoknya mereka ingin mendidik anak-anak mereka secara psikologis, sesuai dengan basic ilmu yang mereka dalami. Terlebih lagi Tiara adalah Psikolog perkembangan.

Valent meminta Ratya untuk ganti baju terlebih dahulu sebelum kemudian ia mengajak Ratya untuk menemaninya mencuci seragam Ratya yang kotornya naudubillahi min dzalik itu.

“Sayang, diajarin kan sama ibu guru kalau kebersihan itu sebagian dari.....”

“Iman!”

Valent tersenyum mendengar jawaban spontan puteranya ketika memulai percakapan. Ia pun lalu berkata,

“Ratya ngerti nggak artinya itu apa?”

“Ngerti kok pa, kan Ratya juga diajarin mama. Kata mama kalo kita percaya sama Allah berarti kita juga harus menjaga kebersihan. Tapi Ratya nggak ngerti kenapa mama marah gara-gara Ratya main bola pas pelajaran oleh raga. Kenapa sih pa?”

Tawa Valent terderai mendengar ucapan polos Ratya. Tanpa ia sadari ternyata jagoan kecilnya itu telah sering membuat mamanya repot. Dielusnya rambut hitam Ratya lalu berucap,

“Mama nggak marah hanya karena sayang main bola di sekolah. Mama hanya marah karena ternyata Ratya belum bisa menjaga kebersihan. Ini, baju Ratya kotor kena lumpur. Masak gini dibilang bisa menjaga kebersihan...”

Valent menunjukkan noda kecoklatan yang memenuhi pakaian puteranya sambil mencoba memberinya sedikit pengertian.

“Tapi pa, kan nggak mungkin kalo main bola nggak kotor. Apalagi musim hujan kaya gini. Lapangan sekolah pasti becek.”

‘Dasar anaknya Tiara, pasti nggak pernah mau kalah.’

Batin Valent berujar nakal. Sementara senyum manis muncul di kedua belah bibirnya mendengar lagi-lagi ucapan polos tapi cerdas anak lelakinya itu.

“Nah, kalo udah tahu becek trus kotor, masak Ratya masih pingin main bola?”

“Masak nggak boleh sih pa? Ratya kan juga pingin kaya papa kalo main bola tiap Sabtu sama temen-temen papa.”

“Ratya....Ratya......jadi itu yang bikin Ratya pingin main bola? Ratya pingin kaya papa?”

Suara mamanya dari belakang yang tiba-tiba mengagetkan Ratya membuat bocah berparas tampan itu langsung menunduk. Bahkan ia tak berani bergerak dari posisi duduknya. Dan melihat tingkah Ratya, Tiara hanya tersenyum simpul, lalu memeluk pinggang anak lelakinya itu, dan mendudukkan di pangkuannya sambil beberapa kali mengecup pipi Ratya untuk meredakan ketegangan yang dirasakan anaknya itu.

“Kenapa sih Ratya pingin main bola kaya papa?”

Tiara bertanya sambil memainkan jemari Ratya untuk mencairkan suasana. Ia tahu Ratya masih merasa sedikit takut, masalahnya memang baik Tiara maupun Valent jarang marah segitu kerasnya pada anak mereka satu-satunya itu.

“Abis papa keren kalo main bola sama temen-temennya. Ratya kan juga pingin jadi keren kaya papa biar temen-temen cewek Ratya pada suka sama Ratya”

Valent dan Tiara tak kuasa menahan tawa mendengar celoteh Ratya barusan. Memang zaman sudah berubah. Bahkan untuk anak yang baru menginjak tingkat pertama Sekolah Dasar sudah berpikir ke arah seperti itu. Makanya pasangan suami istri yang masih berusia muda ini terus berdoa agar dalam mengasuh anak selalu diberi petunjuk yang benar dari-Nya.

“Wah...Ratya benar-benar anaknya papa ya? Mirip banget sama papa waktu masih kuliah.”

“Apa maksudnya itu? Ngomong yang nggak ada hubungannya.”

Valent pura-pura memasang tampang cemberut untuk membalas Tiara yang juga menggodanya lewat senyum centil yang diberikan padanya. Sementara Ratya hanya menoleh ke arah mamanya lalu ke ikut tertawa meski dia tak mengerti apa yang diucapkan orang tuanya barusan.

“Oke deh Ratya, mama kasih izin buat Ratya untuk main bola. Tapi nggak boleh pakai seragam sekolah ya sayang....Nanti mama belikan baju buat main bola untuk kamu. Kan kasihan tuh papa yang cuci baju kotor kamu. Ngerti kan sayang.....”

“Iya deh ma....Ratya nggak akan main bola pakai seragam lagi. Makasih mama....makasih papa.....”

Ratya segera berlari menuju kamarnya dengan riang setelah satu masalah selesai baginya. Sementara, Tiara membantu Valent menjemur seragam sekolah yang kini menjadi bersih kembali berkat kerja keras suaminya sepanjang siang.

“Kenapa sih papa repot-repot cuci bajunya Ratya, kan nanti sore atau besok pagi mama pasti cuci semua pakaian kotor. Dibantu bik Inah lagi. Ngapain repot?” tanyanya begitu tinggal mereka berdua.

“Kan kamu psikolog anak, masak nggak ngerti? Keteladanan kan lebih penting daripada beribu pembicaraan?” Valent membalas dengan senyum pertanyaan istrinya itu. Namun, ia justru mendapatkan senyum licik dari wajah Tiara, ia pun berujar,

“Oke......kalo gitu, mama harap papa juga mau memberi keteladanan bagi anak papa dengan meluangkan waktu untuk mengantar kami berdua beli baju bola buat Ratya. Ingat, mas udah dua minggu nggak pernah ada buat kita. Jadi kalau mas pulang siang hari ini, buat mama itu udah jadi kewajiban papa. Deal?”

Valent hanya tersenyum dan mengangguk pelan mendengar ‘omelan’ istrinya yang sudah lama absen darinya. Ia tahu kalau saat ini ia harus memberikan waktunya buat keluarga yang telah mengisi hari-harinya kini.



Edelweiz

August 3rd 2006

AKU DAN MARIA

Tak ada yang istimewa pada awal perkenalanku dengan Maria. Kebetulan tim DPL (Dosen Pembimbing Lapangan) menempatkan aku dan dia pada desa yang sama. Kebetulan?? Mungkin tidak. Allah pasti telah mengatur pertemuanku dengannya.

Ada perasaan tak nyaman dalam diriku saat mengetahui aku satu tim dengannya. Aku berharap DPL menjodohkan aku dengan Fifi atau Ayu -yang juga baru aku kenal saat pembekalan KKN- bukan dengan Maria. Namun, inilah yang terjadi, aku berjodoh dengan Maria. Dari namanya aku bisa menebak agamanya. Yup! Ternyata benar dugaanku! Maria beragama Katholik.

Perasaan tak nyaman itu makin merasuki diriku. Ya Allah... Dalam satu tim desa-ku hanya aku satu-satunya yang memakai jilbab. Hmm... kekawatiranku bertambah... Kuatkan hamba-Mu ya Rob...

KKN-ku harus menyenangkan dan bermakna!! Dengan harapan itu, aku bangun pertemananku dengan semua personel KKN desa-ku yang hanya berjumlah enam orang –Mas Irwan, Mas Heru, Fahmi, Putri dan juga Maria- . Perbedaan agama yang merentangi antara aku dan Maria harus disibakkan.

Sebelum akhirnya kami terjun ke desa, terlebih dahulu kami melakukan survei. Diluar perbedaan agama yang mendasari pertemananku dengan Maria, aku menyadari sesuatu. Maria adalah seorang yang menenangkan! Sungguh! Seharian menghabiskan waktu bersamanya memberiku banyak pelajaran. Dia selalu berusaha untuk berpikiran positif. Dia juga sangat toleran, ”Eh, itu azan kan? Kalian sholat dulu aja baru kita lanjutin perjalanan”, ujarnya saat azan zuhur berkumandang. Diam-diam aku mulai mengaguminya.

Dan akhirnya... Perjuangan tim kami di desa dimulai!!

Aku, Maria, dan Putri menempati satu kamar. Kami harus berbagi tempat tidur untuk tiga orang. Setelah berunding, aku mendapat tempat disamping Maria. Dari sinilah persahabatan kami dimulai.

Hampir setiap malam sebelum tidur, aku dan Maria bercerita banyak hal. Dari masalah keluarga hingga merembet ke urusan agama. Maria adalah seorang Katholik yang taat. Dia rajin berdoa dan membaca Injil saat bangun tidur. Ada hal unik yang selalu membuatku tersenyum saat mengingat kebiasaan kami... Setiap pagi, sekitar pukul lima, alarm HP Maria selalu membangunkanku untuk Sholat Subuh. Setelah Sholat Subuh, aku menyempatkan diri untuk membaca Al-Qur’an biarpun hanya beberapa ayat. Ada pemandangan yang tak biasa di setiap pagi, aku membaca Al-Qur’an sementara Maria dengan khusuk membaca Injil. Kami tak bisa menahan tawa saat membahas pemandangan unik itu. Perbedaan agama yang ada memang membuat banyak perbedaan diantara kami, tapi sama sekali bukan penghalang untuk persahabatan kami.

Perlahan namun signifikan, perasaan tidak nyaman yang sering merasukiku di awal KKN perlahan mulai luntur, bahkan hilang! Perbedaan yang ada antara aku dan Maria justru menjadi sangat indah... Sungguh! Kami seperti pelangi... Berbeda tapi saling melengkapi... Bisa membayangkan jika pelangi hanya berwarna merah atau hanya berwarna hijau?? Pelangi menjadi indah karena setiap warna tetap mempertahankan warna yang dimilikinya namun saling beriringan membentuk lengkungan indah...

Subhanallah... Maha Suci Allah yang mengatur pertemuanku dengan Maria...

Maha Suci Allah yang telah menciptakan pelangi dalam hidupku...



Semarang, 13 September 2008

-Tyas-