Senin, 05 Januari 2009

Perselingkuhan Orangtua dan Pembentukan Konsep Diri Anak

Pernikahan adalah suatu pranata sosial yang sangat sakral dan suci. Siapapun yang telah memutuskan untuk membuka dan memasuki gerbangnya harus menjalaninya dengan penuh komitmen dan tanggung jawab. Masing-masing dari pasangan haruslah menjaga kesucian mahligai yang mereka sepakati berdua. Namun, ternyata masih banyak saja pasangan yang melanggar ikatan suci yang mereka ikrarkan. Salah satu bentuk pelanggaran komitmen yang acapkali dilakukan adalah perselingkuhan oleh salah satu pasangan.

Perselingkuhan bukan lagi hal yang langka di masyarakat kita saat ini. Pemberitaan di berbagai media mengenai pasangan suami-istri yang berselingkuh bahkan menjadi berita yang sangat digemari oleh penikmat infotainment. Karena gencarnya pemberitaan yang dilancarkan oleh media, perselingkuhan seolah menjadi trend tersendiri. Ternyata, tak sebatas di layar kaca, perselingkuhan juga merambah pada mereka yang tak disorot kamera.


Asya (dalam Purwanto, 2004) mendefinisikan perselingkuhan (selingkuh) sebagai perbuatan seorang suami atau istri dalam bentuk menjalin hubungan dengan seseorang di luar ikatan perkawinan dan jika hubungan tersebut diketahui oleh pasangan sah akan dinyatakan sebagai perbuatan menyakiti, mengkhianati, melanggar kesepakatan, dan komitmen. Dengan kata lain, dalam selingkuh terkandung makna ketidakjujuran, ketidakpercayaan, ketidak-saling menghargai, dan kepengecutan dengan maksud menikmati hubungan dengan orang lain sehingga terpenuhi kebutuhan afeksi–seksualitas (meskipun tidak harus terjadi hubungan badan).

Data statistik yang terdapat di Amerika Serikat mencatat bahwa sekitar 37% suami dan 20% istri melakukan perselingkuhan. Berdasarkan data tersebut, dapat diperkirakan bahwa satu dari 2,7 pasangan atau sedikitnya 20 juta pasangan dihinggapi oleh persoalan ketidaksetiaan (Spring dan Spring, 2006, h. 1).

Data dari Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama (PPA) Mahkamah Agung menggambarkan perceraian akibat adanya gugatan dari istri dari tahun ke tahun selalu lebih tinggi dari angka perceraian akibat talak suami. Data dalam lima tahun terakhir menunjukkan persentase perceraian akibat gugatan istri mencapai 56,2% pada tahun 2000 naik menjadi 57,4% pada tahun 2001, naik lagi menjadi 59,5% pada tahun 2002, dan terus naik menjadi 60,7% pada tahun 2003 dan 62,1% pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 naik lagi menjadi 63%. Ketika ditanya apa penyebab perceraian, selingkuh adalah salah satu penyebab yang sering disebut-sebut. Faktanya, selingkuh memang kini telah meluas dan menjadi ancaman bagi institusi keluarga. Seberapa besar ancaman selingkuh terhadap keluarga-keluarga di Indonesia? Pergerakan data statistik di Direktorat Jenderal Pembinaan Peradilan Agama menguaknya, ternyata selingkuh telah menjadi virus keluarga nomor empat (Nuryati, 2007).

Tahun 2005, ada 13.779 kasus perceraian yang bisa dikategorikan akibat selingkuh. Persentasenya mencapai 9,16 persen dari 150.395 kasus perceraian tahun 2005, ini berarti dari 10 keluarga yang bercerai, satu di antaranya karena selingkuh. Disebutkan pula, perceraian karena selingkuh itu jauh melampaui perceraian akibat poligami tidak sehat yang hanya 879 kasus atau 0,58 persen dari total kasus perceraian tahun 2005. Perceraian karena selingkuh juga sepuluh kali lipat dibanding perceraian karena penganiayaan yang hanya 916 kasus atau 0,6 persen. Sementara banyak pihak memprediksi perselingkuhan ini akan terus naik akibat banyak orang (termasuk tokoh-tokoh) yang melakukannya. Fakta ini mestinya menyadarkan kita bahwa angka 13.779 kasus perceraian akibat selingkuh dalam satu tahun bukanlah angka yang kecil (Nuryati, 2007).

Namun demikian, perselingkuhan memang tidak selalu berakhir di pengadilan agama, banyak diantaranya yang akhirnya kembali kepada pasangan mereka yang sah, dengan atau tanpa perbuatan mereka diketahui. Berikut data dari Asya (dalam Purwanto, 2004) yang didapat dari 101 responden yang berasal dari kalangan eksekutif pria di Jakarta mengenai penyelesaian masalah perselingkuhan setelah diketahui oleh pasangan sah mereka.

Tabel 1

Penyelesaian Masalah Perselingkuhan Setelah Diketahui oleh Pasangan Sah

(pada Eksekutif Pria di Jakarta)

No

Cara penyelesaian

%

1

Cerai ke pengadilan

5

2

Cerai tanpa surat

12

3

Pisah ranjang satu rumah

18

4

Memaafkan dan akur lagi

36

5

Membiarkan pasangan selingkuh

8

6

Menerima dan saling selingkuh

9

7

Kawin madu karena terpaksa

3

8

Masuk penjara

8













Dengan atau tanpa adanya perceraian, perselingkuhan yang pada akhirnya diketahui oleh pasangan sah adalah hal yang sangat menyakitkan dan mau tidak mau akan memicu konflik serta hubungan yang merenggang di dalam keluarga. Orangtua yang terlibat konflik terkadang luput memikirkan kondisi buah hatinya yang masih sangat memerlukan perhatian mereka.

Apapun alasan dari orangtua yang berselingkuh, baik ayah ataupun ibu yang melakukan perselingkuhan, yang terkena imbasnya tidak lain dan tidak bukan adalah anak-anak mereka. Fungsi keluarga sebagai pusat ketenangan jiwa bagi anak akan luntur. Harapan seorang anak yang begitu rindu untuk pulang ke rumah, karena di sana akan ia dapati ibu dan ayah yang bagaikan air pelepas dahaga, sirna lantaran ayah dan ibu tak lagi berada dalam kebersamaan. Keluarga yang diharapkan sebagai sumber energi dan sumber semangat pun hancur. Tak ada lagi untaian nasihat mengalir tenang, tak ada lagi aktivitas saling memperbaiki, serta saling menggali kebenaran.

Berawal dari masalah keluarga yang terjadi antara suami-isteri, akhirnya sering menimbulkan keributan dan pertengkaran (Eriany, 2004, h. 67). Konflik yang terjadi pada kedua orangtua pasti akan berimbas pada anak-anak mereka. Hidup di lingkungan keluarga yang sering bertengkar, akan menyulitkan bagi remaja untuk mengembangkan kepribadian yang sehat. Hal ini membuka peluang bagi perkembangan rasa kurang percaya diri yang intens, yang membuat mereka sering mengalami kegagalan dalam meraih prestasi sosial yang optimal (Sadarjoen, 2005, h. 93).

Mereka juga mengalami kesulitan dalam bergaul, sering diliputi kecurigaan yang berlebih terhadap lingkungan, mudah memaki dan mencaci lingkungan, dan kalaupun mendapatkan sahabat yang dirasa cocok, maka sikap terhadap sahabat tersebut menjadi sangat posesif. Sikap posesif tersebut akan menjadi bumerang bagi lepasnya persahabatan yang terjalin, karena sahabatnya pun menjadi kurang nyaman dan akhirnya meninggalkan dirinya serta meninggalkan kekecewaan yang besar bagi remaja tersebut (Sadarjoen, 2005, h. 93).

Hubungan keluarga yang buruk merupakan bahaya psikologis pada setiap usia, terlebih selama masa remaja karena pada saat ini anak laki-laki dan perempuan sangat tidak percaya pada diri sendiri dan bergantung pada keluarga untuk mendapatkan rasa aman. Yang lebih penting lagi, mereka memerlukan bimbingan dan bantuan dalam menghadapi tugas perkembangan masa remaja. Jika hubungan keluarga ditandai dengan pertentangan-pertentangan serta perasaan-perasaan tidak aman yang berlangsung lama, maka remaja akan memiliki kesempatan yang kurang untuk mengembangkan pola perilaku yang tenang dan matang. Remaja yang hubungan keluarganya kurang baik juga dapat mengembangkan hubungan yang buruk dengan orang-orang di luar rumah (Hurlock, 2002, h. 238). Remaja yang tinggal di lingkungan keluarga yang penuh dengan konflik juga lebih rentan terkena simtom depresi daripada anak yang dibesarkan pada keluarga yang penuh dengan kehangatan (Sheeber. et. al, 1997, h. 340).

Selain dampak yang telah diuraikan di atas, perselingkuhan yang dilakukan oleh orang tua akan berimbas pada pembentukan konsep diri remaja. Rogers (dalam Burns, 1993, h. 46) mengatakan bahwa konsep diri adalah konfigurasi tentang diri sendiri yang terorganisasi, yang tersusun dari karakteristik dan kemampuannya serta konsep mengenai diri di dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungannya. Konsep diri adalah suatu bentuk persepsi yang dimiliki seseorang dalam memandang dirinya sendiri. Persepsi terhadap diri ini dipengaruhi dari pengalaman dan hasil interaksinya dengan orang lain.

Pengalaman dan lingkungan sekitar individu mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan konsep diri. Konsep diri bukanlah faktor yang dibawa sejak lahir, melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam berhubungan dengan individu lain (Yatim dan Irwanto, 1986, h. 27). Konsep diri tidak langsung ada begitu individu dilahirkan, tetapi berkembang secara bertahap seiring dengan tingkat pertumbuhan dan perkembangan individu. Dengan kata lain, konsep diri seseorang dipengaruhi oleh lingkungan. Selain itu, konsep diri juga akan dipelajari individu melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain termasuk berbagai stresor yang dilalui individu tersebut (Salbiah, 2003).

Hurlock (1992, h. 248) mengemukakan bahwa sikap terhadap anggota keluarga dan masalah pribadi keluarga adalah beberapa unsur yang memberikan kontribusi bagi pembentukan konsep diri individu. Burns (1993, h. 204) menyatakan bahwa orangtua mempunyai pengaruh yang besar dalam pengembangan konsepsi diri karena mereka merupakan sumber otoritas dan sumber kepercayaan.

Perilaku orangtua tidak hanya memberikan dampak bagi dirinya dan pasangannya saja, tetapi juga bagi buah hati mereka. Orangtua yang bijak adalah orangtua yang sadar untuk menjaga perilakunya.


Daftar Pustaka:

Burns, R. B. 1993. Konsep Diri: Teori, Pengukuran, Perkembangan dan Perilaku. Alih Bahasa: Eddy. Jakarta: Arcan.


Eriany, Prahareti. 2004. Fenomena Perilaku Selingkuh dalam Perkawinan Psikodimensia. 4 (2): 63 dan 67.


Hurlock, E. B. 1992. Perkembangan Anak Jilid 2 Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga.


. 2002. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.


Nuryati, Siti. (Januari, 2007). Selingkuh Tahta, Harta, Wanita. FTP: Hostname: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0701/23/opi01.html diunduh pada 28 Maret 2008.


Purwanto, Yadi. (Oktober, 2004). Selingkuh: Abnormal yang dinikmati. FTP: Hostname: http://psikologi.ums.ac.id/modules.php?name=News&file=print&sid=30 diunduh pada 28 Maret 2008.

Salbiah. (2003). Konsep Diri. FTP: Hostname: http://209.85.173.104/search?q=cache:ezTjrPKCtRsJ:library.usu.ac.id/download/fk/keperawatan-salbiah2.pdf+konsep+diri&hl=en&ct=clnk&cd=7&gl=id diunduh pada 11 Maret 2008.


Sadarjoen, Sawitri. S. 2005. Pendampingku Tak Seperti Dulu Lagi. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.


. 2005. Pernak-pernik Hubungan Orangtua-Remaja: Anak ”Bertingkah” Orangtua Mengekang. Jakarta: Penerbit Buku KOMPAS.


Sheeber. et. al. 1997. Family Support and Conflict: Prospective Relations to Adolescent Depression Journal of Abnormal Child Psychology. 25 (4): 340.


Spring dan Spring. 2006. After the Affair: menyembuhkan Sakit Hati dan Membangun kembali kepercayaan Setelah Pasangan Berselingkuh. Jakarta: TransMedia.


Yatim dan Irwanto. 1986. Kepribadian, Keluarga, dan Narkotika: Tinjauan Sosial-Psikologis. Jakarta : Penerbit Arcan.



1 komentar:

Amaliyah Salsabiela mengatakan...

Assalamu'alaikum...Perkenalkan nama saya Amaliyah Salsabiela dari Fakultas Psikologi UMS. Kebetulan skripsi saya jga mengenai konsep diri. Namun saya sedang kesulitan menjadi buku Burns, R, B. 1993. Konsep Diri (Teori, Pengukuran, Perkembangan, dan Perilaku).
Alih bahasa: Eddy. Jakarta : Arcan. Apakah tyas memiliki bukunya? bagaimana caranya saya bisa mendapatkannya? (hrus cari kemana?)
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak.
^_^
Wassalamu'alaikum...