Senin, 05 Januari 2009

Sebuah Cerpen...

Cerpen Kesukaanku Nih...

Dibuat oleh orang kesukaanku...


WHEN THEY BECOMING A FAMILY


Tiara baru pulang dari kampus tempat ia mengajar siang itu. Wajah cantik berjilbab itu pun tampak lelah setelah seharian harus menghadiri rapat dengan dewan dosen di Universitas terkenal di kawasan Surabaya Tengah tempat ia mengajar. Diparkirnya Honda Jazz pink-nya di garasi rumah,

‘Kok? Sudah pulang siang-siang gini?’

Sebuah pertanyaan muncul di benak Tiara begitu melihat BMW M50 milik suaminya sudah nangkring rapi di sebelah Jazz-nya. Ia pun bergegas masuk ke dalam rumah. Pelan-pelan ia membuka pintu rumah sambil berujar pelan,

“Assalamualaikum......”

“Waalaikumsalam, sudah pulang?”

Tiara tersenyum mendengar pertanyaan Valent, suaminya yang menyambutnya di ruang tamu. Masih dengan setelan kerja lengkap. Ia mencium tangan suaminya, lalu duduk di sebelahnya sebelum kemudian berujar,

“Harusnya kan aku yang tanya gitu mas? Kok jam segini udah ada di rumah?”

“Memang kenapa? Boleh kan sekali-kali aku pulang awal cuma buat berkumpul sama keluargaku?”

Terus kerjaannya gimana? Masak general manager perusahaan multinasional seenaknya aja ninggalin pekerjaannya di kantor?”

Lesung pipit manis milik Tiara terlihat ketika ia melempar senyum yang agak menggoda pada suami tersayangnya. Sejak mengenal Valent saat mereka masih sama-sama kuliah, Tiara tahu benar kalau Valent sangat berdedikasi tinggi pada pekerjaannya.

“Kan masih bisa dikerjain di rumah, sayang.....”

“Ih! Ngeles aja pinter.”

Tiara menyandarkan kepalanya di pundak Valent untuk melepas segala penat dan letih. Lelaki sudah cukup lama dikenalnya itu, kini telah menjadi suaminya. Bahkan kebahagiaan mereka semakin lengkap dengan hadirnya anak pertama mereka yang kini duduk di kelas satu Sekolah Dasar. Ratya, itu nama yang mereka berikan buat anak laki-laki yang diamanahkan Allah pada mereka.

“Assalamualaikum.....mama...Ratya pulang...”

Terdengar suara centil anak kecil di balik pintu. Ratya, anak mereka baru saja pulang dari sekolah. Sambil tersenyum Tiara bangkit dan membukakan pintu buat buah hati yang disayanginya. Namun senyumnya langsung memudar begitu melihat baju Ratya begitu penuh dengan lumpur.

“Ratya! Ngapain aja sih kamu di sekolah? Mama kan udah bilang buat jaga seragam kamu? Kok jadi kotor kaya gini sih?” Bentaknya tiba-tiba.

“Ratya cuma main bola ama temen-temen. Tadi ‘kan memang waktunya olah raga ma.....” ujarnya pelan, agak takut juga melihat kemarahan mamanya yang tiba-tiba. Ia kemudian beringsut menuju papanya dan duduk di sebelahnya seolah meminta perlindungan.

“Tapi kan kamu bawa pakaian olah raga nak? Terus mana pakaian olah raga kamu? Kotor juga?”

Sambil takut-takut Ratya menunjukkan kaos olah raga miliknya yang ternyata juga mengalami ‘nasib’ yang tak jauh berbeda dengan seragam sekolahnya. Tiara menghela nafas panjang, lalu menatap tajam ke arah puteranya, yang membuat bocah kecil itu semakin ketakutan.

“Udah deh.... ma, biar papa yang nanti bicara ma Ratya. Mama istirahat aja, mama pasti capek dari kampus seharian.” Valent mencoba menengahi dan meredakan amarah istrinya, sebelum ia menumpahkannya pada Ratya kemudian.

“Tapi pa, nggak bisa kaya gitu kan seharusnya”

“Mama.....”

Kali ini sorot tajam mata Valent seolah menembus dada Tiara, ia tersentak dan kemudian menunduk sambil menggumam istighfar beberapa kali. Kalau saja ia tak sadar peringatan suaminya itu, mungkin ia sudah benar-benar dikuasai amarah.

“Iya, mama ngerti.”

Tiara berujar lirih dan kemudian menghampiri Ratya yang duduk di pangkuan suaminya. Ia merendahkan tubuhnya sehingga bisa mencium pipi tembem anaknya sambil kembali berujar lirih meminta maaf.

“Ratya juga minta maaf ma....”

Sambil terisak karena satu dua air matanya keluar, bocah kecil itu membalas apa yang dilakukan mamanya. Lalu sebelum Tiara beranjak menuju kamarnya untuk sholat Dhuhur dan menenangkan diri sesaat, Valent menghampirinya dan mengecup lembut kening istrinya dan tersenyum penuh arti. Tiara membalas senyuman itu sesaat dan berlalu meninggalkan keduanya.

‘Huff! Ternyata instingku masih bisa diandalkan. Untung aku pulang siang ini. Kalau nggak, bisa pecah Perang Dunia III nih.’

Valent menghela nafas sejenak, lalu menoleh ke arah Ratya. Ia bisa memahami kenapa istrinya langsung marah melihat ‘hasil karya’ puteranya itu. Selain karena memang Tiara sedang capek-capeknya, baju seragam Ratya memang terlihat berantakan abis. Ia pun segera mengajak anak cowoknya ke belakang.

“Udah ah, berhenti nangisnya. Jangan lama-lama. Papa mau ngomong ma Ratya di belakang. Yuk....”

“Tapi Ratya nggak dimarahin lagi ‘kan pa? Nggak di jewer kan?”

“Nggak......papa janji deh.”

Dalam hati Valent tertawa mendengar ucapan polos jagoan kecilnya itu. Yang dia pikirkan kok bisa-bisanya Ratya bicara seperti itu, sejauh yang dia tahu baik dirinya dan Tiara sudah sepakat untuk mendidik anaknya tanpa marah yang berlebihan apalagi hukuman fisik. Pokoknya mereka ingin mendidik anak-anak mereka secara psikologis, sesuai dengan basic ilmu yang mereka dalami. Terlebih lagi Tiara adalah Psikolog perkembangan.

Valent meminta Ratya untuk ganti baju terlebih dahulu sebelum kemudian ia mengajak Ratya untuk menemaninya mencuci seragam Ratya yang kotornya naudubillahi min dzalik itu.

“Sayang, diajarin kan sama ibu guru kalau kebersihan itu sebagian dari.....”

“Iman!”

Valent tersenyum mendengar jawaban spontan puteranya ketika memulai percakapan. Ia pun lalu berkata,

“Ratya ngerti nggak artinya itu apa?”

“Ngerti kok pa, kan Ratya juga diajarin mama. Kata mama kalo kita percaya sama Allah berarti kita juga harus menjaga kebersihan. Tapi Ratya nggak ngerti kenapa mama marah gara-gara Ratya main bola pas pelajaran oleh raga. Kenapa sih pa?”

Tawa Valent terderai mendengar ucapan polos Ratya. Tanpa ia sadari ternyata jagoan kecilnya itu telah sering membuat mamanya repot. Dielusnya rambut hitam Ratya lalu berucap,

“Mama nggak marah hanya karena sayang main bola di sekolah. Mama hanya marah karena ternyata Ratya belum bisa menjaga kebersihan. Ini, baju Ratya kotor kena lumpur. Masak gini dibilang bisa menjaga kebersihan...”

Valent menunjukkan noda kecoklatan yang memenuhi pakaian puteranya sambil mencoba memberinya sedikit pengertian.

“Tapi pa, kan nggak mungkin kalo main bola nggak kotor. Apalagi musim hujan kaya gini. Lapangan sekolah pasti becek.”

‘Dasar anaknya Tiara, pasti nggak pernah mau kalah.’

Batin Valent berujar nakal. Sementara senyum manis muncul di kedua belah bibirnya mendengar lagi-lagi ucapan polos tapi cerdas anak lelakinya itu.

“Nah, kalo udah tahu becek trus kotor, masak Ratya masih pingin main bola?”

“Masak nggak boleh sih pa? Ratya kan juga pingin kaya papa kalo main bola tiap Sabtu sama temen-temen papa.”

“Ratya....Ratya......jadi itu yang bikin Ratya pingin main bola? Ratya pingin kaya papa?”

Suara mamanya dari belakang yang tiba-tiba mengagetkan Ratya membuat bocah berparas tampan itu langsung menunduk. Bahkan ia tak berani bergerak dari posisi duduknya. Dan melihat tingkah Ratya, Tiara hanya tersenyum simpul, lalu memeluk pinggang anak lelakinya itu, dan mendudukkan di pangkuannya sambil beberapa kali mengecup pipi Ratya untuk meredakan ketegangan yang dirasakan anaknya itu.

“Kenapa sih Ratya pingin main bola kaya papa?”

Tiara bertanya sambil memainkan jemari Ratya untuk mencairkan suasana. Ia tahu Ratya masih merasa sedikit takut, masalahnya memang baik Tiara maupun Valent jarang marah segitu kerasnya pada anak mereka satu-satunya itu.

“Abis papa keren kalo main bola sama temen-temennya. Ratya kan juga pingin jadi keren kaya papa biar temen-temen cewek Ratya pada suka sama Ratya”

Valent dan Tiara tak kuasa menahan tawa mendengar celoteh Ratya barusan. Memang zaman sudah berubah. Bahkan untuk anak yang baru menginjak tingkat pertama Sekolah Dasar sudah berpikir ke arah seperti itu. Makanya pasangan suami istri yang masih berusia muda ini terus berdoa agar dalam mengasuh anak selalu diberi petunjuk yang benar dari-Nya.

“Wah...Ratya benar-benar anaknya papa ya? Mirip banget sama papa waktu masih kuliah.”

“Apa maksudnya itu? Ngomong yang nggak ada hubungannya.”

Valent pura-pura memasang tampang cemberut untuk membalas Tiara yang juga menggodanya lewat senyum centil yang diberikan padanya. Sementara Ratya hanya menoleh ke arah mamanya lalu ke ikut tertawa meski dia tak mengerti apa yang diucapkan orang tuanya barusan.

“Oke deh Ratya, mama kasih izin buat Ratya untuk main bola. Tapi nggak boleh pakai seragam sekolah ya sayang....Nanti mama belikan baju buat main bola untuk kamu. Kan kasihan tuh papa yang cuci baju kotor kamu. Ngerti kan sayang.....”

“Iya deh ma....Ratya nggak akan main bola pakai seragam lagi. Makasih mama....makasih papa.....”

Ratya segera berlari menuju kamarnya dengan riang setelah satu masalah selesai baginya. Sementara, Tiara membantu Valent menjemur seragam sekolah yang kini menjadi bersih kembali berkat kerja keras suaminya sepanjang siang.

“Kenapa sih papa repot-repot cuci bajunya Ratya, kan nanti sore atau besok pagi mama pasti cuci semua pakaian kotor. Dibantu bik Inah lagi. Ngapain repot?” tanyanya begitu tinggal mereka berdua.

“Kan kamu psikolog anak, masak nggak ngerti? Keteladanan kan lebih penting daripada beribu pembicaraan?” Valent membalas dengan senyum pertanyaan istrinya itu. Namun, ia justru mendapatkan senyum licik dari wajah Tiara, ia pun berujar,

“Oke......kalo gitu, mama harap papa juga mau memberi keteladanan bagi anak papa dengan meluangkan waktu untuk mengantar kami berdua beli baju bola buat Ratya. Ingat, mas udah dua minggu nggak pernah ada buat kita. Jadi kalau mas pulang siang hari ini, buat mama itu udah jadi kewajiban papa. Deal?”

Valent hanya tersenyum dan mengangguk pelan mendengar ‘omelan’ istrinya yang sudah lama absen darinya. Ia tahu kalau saat ini ia harus memberikan waktunya buat keluarga yang telah mengisi hari-harinya kini.



Edelweiz

August 3rd 2006

Tidak ada komentar: